Kali
ini saya akan mencoba membahas tentang resensi buku, di mana ini adalah
tugas saya dari guru bahasa indonesia. Jadi buat yang belum mengetahui
apa saja itu langkah-langkah bagaimana cara meresensi buku, yaitu :
1. Jenis Buku
Jenis/bentuk buku itu apakah roman, novel, biografi, atau yang lain.
Selain itu seorang resentator menyebutkan juga buku termasuk buku fiksi
atau nonfiksi.
2. Keaslian Ide
Buku itu apakah benar-benar merupakan karya asli dari pengarangnya atau merupakan jiplakan dari buku lain yang pernah terbit.
3. Bentuk
Bagaimana mengenai bentuk atau format dari buku itu. Apakah
bentuknya, kertas, ilustrasi cover, jenis huruf yang dipakai, dan
sebagainya.
4. Isi dan Bahasa
Dilihat dari segi isi, resentator perlu memperhatikan unsur-unsur
intrinsiknya, yaitu tentang tema, alur, perwatakan, sudut pandang dan
sebagainya.
Bahasa dalam buku itu dapat ditinjau dari segi struktur kalimat, gaya
bahasa/style, ungkapan dan lain-lain. Apakah bahasa yang digunakan
memakai bahasa sehari-hari yang segar tidak menjemukan, mudah dimengerti
oleh pembaca, dan sebagainya. Mudah dipahami atau sukar diterima
pembaca. Pengujian materi mendapat perhatian juga dari resentator.
5. Simpulan
Akhirnya seorang penulis resensi harus dapat menyimpulkan, apakah buku itu baik dan perlu dibaca atau tidak.
• menulis data buku yang dibaca,
• menulis ikhtisar isi buku,
• mendaftar butir-butir yang merupakan kelebihan dan kekurangan buku,
• menuliskan pendapat pribadi sebagai tanggapan atau isi buku, dan
• memadukan ikhtisar dan tanggapan pribadi ke dalam tulisan yang utuh.
Sebuah resensi harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Data buku atau identitas buku
a. Judul buku
Jika buku yang akan kamu resensi adalah buku terjemahan, akan
lebih baik jika kamu menuliskan judul asli buku tersebut.
b. Penulis atau pengarang
Jika buku yang diresensi adalah buku terjemahan, kamu harus
menyebutkan penulis buku asli dan penerjemah.
c. Nama penerbit
d. Cetakan dan tahun terbit
e. Tebal buku dan jumlah halaman
2. Judul Resensi
Judul resensi boleh sama dengan judul buku, tetapi tetap dalam konteks buku itu.
3. Ikhtisar Isi Buku
Dalam meresensi buku, seorang peresensi harus menulis buku yang hendak
diresensi. Ikhtisar adalah bentuk singkat dari suatu karangan atau
rangkuman. Ikhtisar merupakan bentuk singkat karangan yang tidak
mempertahankan urutan karangan atau buku asli, sedangkan ringkasan harus
sesuai dengan urutan karangan atau buku aslinya. Adapun hal-hal yang
harus diperhatikan dalam membuat ikhtisar isi buku adalah sebagai
berikut.
a. Membaca naskah/buku asli
Penulis ikhtisar harus membaca buku asli secara keseluruhan untuk
mengetahui gambaran umum, maksud, dan sudut pandang pengarang.
b. Mencatat gagasan pokok dan isi pokok setiap bab
c. Membuat reproduksi atau menulis kembali gagasan yang dianggap
penting ke dalam karangan singkat yang mempunyai satu kesatuan yang padu.
4. Kelebihan dan Kekurangan Buku
Penulis resensi harus memberikan penilaian mengenai kelebihan dan kelemahan buku yang disertai dengan ulasan secara objektif.
5. Kesimpulan
Penulis resensi harus mengemukakan apa yang diperolehnya dari buku yang
diresensi dan imbauan kepada pembaca. Jangan lupa cantumkan nama kamu
selaku peresensi.
contoh
Judul buku : Desaku,
Sekolahku
Penulis : Ahmad M. Nizar Alfian Hasan
Penerbit : Pustaka Q-Tha
Tahun Terbit : Agustus 2007
Tebal buku : XXV+189 hlm, 14 x 20 cm
Ketika sekolah semakin mahal dan membosankan, apa yang mungkin kita
lakukan untuk menghadapi situasi seperti ini? Biaya sekolah terus
mengikuti trend harga barang-barang di pasaran yang terus membumbung
naik. Sementara, kualitas lulusannya masih jauh dari yang diharapkan.
Murid-murid sendiri banyak yang menyatakan kebosanan, tidak menyenangkan
dan tidak menarik atas proses pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah
dengan rasa tertekan dan keterpaksaan. Belum lagi ketegangan dengan guru
dan tugas-tugas sekolah serta pekerjaan rumah (PR) yang menyebalkan.
Waktu untuk mengekspresikan diri dan explorasi ketertarikan pada hal-hal
di luar sekolah habis ditelan tuntutan aktivitas di sekolah.
Formalitas sekolahan telah memandulkan kreativitas dan mengasingkan para
murid dari lingkungan hidupnya sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak
dari keluarga miskin yang tersebar luas di Indonesia Raya ini?
Dan pada akhir ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun tiba, ijasah
adalah symbol kebanggaan kelulusan yang konon bisa memberikan jaminan
hidup kedepan(?) Perlu disadari para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu
diterimakan, ketika itu pula status anda berubah, bukan lagi menjadi
mahasiswa sang intelektual melainkan “pengangguran” bila anda belum
produktif.
Sebagai sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan dan keterampilan untuk
menerapkannya dalam aktivitas kerja produktif di tengah-tengah
masyarakat membangun ini; pertanyaannya, apa yang bisa anda kerjakan/
hasilkan? Apa yang bisa dibanggakan dengan ijasah di tangan tapi tidak
berdaya..?
Kenyataan cenderung mengatakan “untuk menjadi pandai itu memang mahal.”
Dan “orang-orang miskin dilarang sekolah.”
Namun demikian, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi di muka
Bumi ini selama hal itu manusiawi. Bahwa sekolah (baca: belajar) itu
bisa murah dan berkualitas adalah bukan mimpi, dan hal ini dibuktikan
oleh komunitas petani—yang menamakan dirinya komunitas Qaryah
Thayyibah-- di Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, 3 kilometer dari Kota
Salatiga, Propinsi Jawa Tengah.
Berawal dari solidaritas yang kuat dari seorang Bahrudin yang melihat
para tetangganya tidak mungkin menyekolahkan anak-anaknya ke SLTP,
karena biaya masuk sekolah dan SPP bulanannya terasa memberatkan. Ketika
itu, ia akan memasukkan anaknya, Hilmy, ke SLTP di Kota Salatiga. Ia
menemui kenyataan bahwa biayanya cukup mahal, dan tidak sampai hati
menyaksikan anaknya pergi ke sekolah sementara anak-anak tetangganya tak
terperhatikan pendidikannya, maka ia mengajak warga sekitarnya untuk
mendirikan sekolah SLTP terbuka, yang kemudian berkembang menjadi SLTP
Alternatif Qaryah Thayyibah.
SLTP itu menyebut diri “alternatif” karena mereka memang bisa dikatakan
terlepas dari mainstreaming proses pembelajaran sebagaimana yang terjadi
di sekolah-sekolah pada umumnya. Sekolah ini mempunyai prinsip dasar:
1) Pendidikan dilandasi semangat pembebasan dan perubahan yang lebih
baik; 2) Keberpihakan kepada keluarga miskin; 3) proses belajar yang
menyenangkan (egaliter); dan partisipasi semua pihak.
Dan sebagaimana yang dicita-citakan oleh penggagasnya, bahwa SLTP
alternatif ini bercita-cita menjadi sekolah yang murah dan berkualitas.
Pak Bahrudin menekankan bahwa lembaga pendidikan alternatif seyogyanya
menyatu dengan lingkungan sosial dan alam sehingga secara langsung
berkonribusi pada perwujudan masyarakat yang tangguh yang mampu
mengelola dan mengontrol segala sumber daya yang tersedia beserta
seluruh potensinya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan
kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki dan perempuan, atau
masyarakat ilmu yang berkeadaban (hlm.37).
“Desaku, Sekolahku” adalah pilihan judul buku yang sangat tepat untuk
menyebut konsepsi belajar yang terjadi di Desa Kalibening. Bahwa belajar
tidak hanya di ruang kelas, tetapi bisa juga di kebun, di lapangan, di
bengkel, di sawah, di pinggir kali, di dapur, di masjid, di rumah-rumah
warga, dan seterusnya. Penulis, A.M.Nizar Alfian Hasan menemukan pesona
tersendiri dari anak-anak SLTP yang mempunyai konsep sekolah ideal tidak
terbatas pada bangunan sekolah, atau konsep ruang bangunan. Sekolah
bagi anak-anak itu adalah rumah, ruang perpustakaan, dapur, halaman
rumah sampai lingkungan alam desa dimana mereka hidup.
Proses belajar ditentukan sendiri oleh para murid dan kondisi yang
nyaman serta menyenangkan dengan sendirinya tetap terjaga. Ternyata
suasana informal justru sangat mendukung proses belajar yang kreatif,
efektif dan menyatu dengan masyarakat.
Lompatan besar pun terjadi. Anak-anak SLTP alternatif ini dengan
kesadaran baru tidak mengejar penilaian dan ijasah, melainkan
pengetahuan dan kemampuan baru. Bukan kompetisi penilaian yang dibangun,
melainkan kompetisi memahami pengetahuan dan membagikannya kepada
kawan-kawan lainnya. Hanya 4 orang muridnya yang ikut Ujian Akhir Negara
(UAN) 2006 yang lalu; itu pun tujuannya adalah penelitian. Persoalan
pun dipecahkan bersama-sama.
Saya harus menyampaikan rasa salut saya kepada Bapak Roy Budhianto di
Kota Salatiga yang mendukung pembelajaran anak-anak itu dengan
menyediakan akses internet 24 jam gratis sebagai jendela wawasan dunia.
Atas dukungan inilah anak-anak SLTP QT melesat cepat menjadi komunitas
pengguna internet terbaik di dunia sejajar dengan tujuh komunitas dunia
lainnya, seperti Kampung Issy Les Moulineauk di Perancis dan Kecamatan
Mitaka di Tokyo—menurut peneliti Asia Pasific Telecommunity di Bangkok,
Dr.Naswil Idris.
“Action Day” adalah agenda belajar anak-anak SLTP untuk beraktivitas di
lingkungan masyarakat secara langsung, misalnya meneliti dan menulis
tentang sengketa mata air “Belik “ Luweng. Kegiatan ini menjadi ajang
implementasi pengetahuan dan sekaligus memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitarnya.
Tidak ada anggapan bahwa ada anak yang bodoh, yang ada adalah talenta
dan ketertarikan yang berbeda-beda. Mereka tidak hanya belajar
pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga belajar tentang kehidupan
(humanisme). Tidak ada paksaan bahwa semua siswa harus menguasai
pelajaran; kalau ternyata guru saja tidak harus menguasai bahan
pelajaran. Hal ini mengingatkan saya pada situasi belajar di Tomoe,
Jepang, pasca perang dunia kedua, sebagaimana digambarkan oleh Tetsuko
Kuroyanagi dalam bukunya yang terkenal “Totto-Chan: Gadis Cilik di
Jendela”. Dan seperti cita-cita Alm. Romo YB.Mangunwijaya yang sering
saya dengarkan sebelum kepergiannya.
Proses belajar ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas. Sebagian
dari mereka sudah menulis beberapa novel dan buku ilmiah yang
dipublikasikan oleh penerbit di Yogyakarta. Dan juga sering mendapatkan
undangan untuk menjadi pembicara atau sekadar berbagi pengalaman.
Beberapa karya mereka meliputi pembuatan film documenter dan film untuk
belajar (pengetahuan), menerbitkan majalah E-lalang, berteater untuk
masyarakat, dan mahir dalam multimedia. Mereka sudah menjadi bagian dari
masyarakat kosmopolitan tetapi tetap mengakar di dunianya.Mereka telah
berpikir global dan bertindak lokal (think globally, act locally).
Dalam buku ini tereksplorasi bagaimana anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif
Qaryah Thayyibah mempunyai tugas akhir—sebagai pengganti UAN--untuk
menandai kelulusannya dengan mengadakan dan menyelesaikan “disertasi”
masing-masing. “Disertasi” itu antara lain Pengadaan Ruang Belajar,
Studio Musik Bawah Tanah dan Kolam Belut di Rumah As’ad; Laboratorium
Tanaman dan Pembuatan Briket Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar dan
Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa; Ruang Belajar di Rumah Amik;
“Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga Alm.Bapak Tafdil;
Radio Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak Bahrudin; dan
lain-lain.
Proses penulisan Tugas Akhir dalam studi Arsitektur di FT-UNS Surakarta
ini perlu dijadikan contoh nyata, bahwa pembelajaran yang langsung
melibatkan suatu masyarakat akan memberikan transformasi positif bagi
kedua belah pihak. Penulis mengakui bahwa proses interaksi dengan
komunitas, terutama anak-anak SLTP alternatif Qaryah Thayyibah mempuyai
dampak pembelajaran yang memberikan pencerahan. Semuanya merasakan
perubahan yang lebih baik.
Dan pada akhirnya, perlu diambil hikmahnya: bahwa belajar itu tidak
mengenal batas ruang dan waktu, bahwa sekolah itu bisa murah dan
berkualitas, dan tentunya dengan adanya semangat dan upaya yang kuat
dari semua pihak. Inilah yang disebut Komunitas Belajar.
Djuneidi Saripurnawan,
RDC Plan Aceh, alumnus Studi Antropologi UGM Yogyakarta.
Mungkin itu saja artikel saya kali ini tentang contoh resensi buku yang
benar