2
Wibiarly Pribadi

Laki-laki, 16 tahun

Bekasi Timur, Indonesia

Hai Kawan??? , Apa Kabar?? (:
::
Bekas jerawat pada wajah kadang membuat warna kulit tidak merata akibat timbulnya flek hitam dan noda yang tentunya akan membuat tekstur dan warna kulit wajah menjadi belang-belang.



Berikut ini adalah beberapa bahan lami dan tradisional yang bisa anda manfaatkan untuk menghilangkan bekas jerawat pada wajah tanpa menimbulkan efek samping seperti ketika memakai kosmetik yang mengandung bahan kimia.

Cara menghilangkan bekas jerawat

1. Menggunakan Lidah Buaya
Banyak dari hasil penelitian bahwa lidah buaya memang sangat baik untuk kesehatan rambut, tapi lidah buaya juga bisa menghilangkan jerawat. Cara menghilangkan jerawat dengan lidah buaya ini juga cukup mudah. Caranya,  potong beberapa bagian dari lidah buaya dan buang kulit luarnya, oleskan cairan lidah buaya di bagian wajah yang berjerawat seiap pagi dan sore.

2. Menggunakan Putih Telur
Cara menghilangkan jerawat dengan bahan yang satu ini cukup mudah, pisahkan putih telur lalu kita kocok hingga berbusa. Oleskan di bagian wajah yang terkena jerawat kemudian diamkan selama kurang lebih 15 menit. Putih telur tersebut akan menyerap minyak yang dapat menyebabkan jerawat sampai akhirnya jerawat pun menghilang.

3. Menggunakan Pasta Gigi
Pasta gigi pastinya bermanfaat untuk membersihkan gigi, namun cara menghilangkan jerawat juga bisa dengan menggunakan pasta gigi. Caranya, sebelum tidur kita hanya cukup mengoleskan pasta gigi di sekitar wajah yang berjerawat, lalu biarkan sampai pagi dan bilas menggunakan air bersih.

4. Menggunakan Jeruk Nipis
Tidak dipungkiri memang buah-buahan memberikan banyak manfat bagi kesehatan kita, termasuk dalam cara menghilangkan jerawat yang menggunakan jeruk nipis. Kandungan citric acid yang terdapat pada jeruk nipis dapat memindahkan sel-sel kulit mati yang akan menyebabkan jerawat. Dengan membuat ramuan jeruk nipis yang dicampur dengan air mawar mampu untuk menghilangkan jerawat. Caranya, campurkan perasan lemon dengan air mawar dan oleskan di bagian wajah yang berjerawat, diamkan selama 10 sampai 15 menit kemudian bilas dengan air hangat. Pemakaian secara rutin selama 15 hari dapat memberikan hasil yang lebih maksimal.

5. Menggunakan Tomat
Salah satu jenis tanaman yang bisa dikatakan buah dan juga sayuran ini memang memiliki banyak khasiat, selain bisa untuk menghilangkan komedo, ternyata tomat juga bisa menghilangkan jerawat dan bekas jerawat. Cara menghilangkan jerawat dengan comat adalah kita hanya cukup mengiris tomat dan kemudian dioleskan lalu tempelkan di bagian wajah yang terkena jerawat, tunggu dan diamkan selama 15 menit. Untuk lebih memuaskan lakukan cara ini kurang lebih selama satu bulan.

6. Menggunakan Bawang Putih
Cara menghilangkan jerawat dengan bawang putih bisa dengan dua pilihan. Pilihan pertama adalah dengan menumbuk sampai halus dua atau lebih bawang putih dan kemudian dioleskan di sekitar wajah yang terdapat jerawat, diamkan selama 10 menit lalu bilas sampai bersih. Pilihan kedua, dengan memakan satu atau lebih bawang putih di setiap harinya. Banyak yang mengatakan bahwa cara menghilangkan jerawat ini cukup efektif, namun memang kita harus tahan dengan bau bawang putih yang cukup menyengat.




sumber : http://wowgi.blogspot.com/2013/07/tips-cara-menghilangkan-bekas-jerawat.html
Kali ini saya akan mencoba membahas tentang resensi buku, di mana ini adalah tugas saya dari guru bahasa indonesia. Jadi buat yang belum mengetahui apa saja itu langkah-langkah bagaimana cara meresensi buku, yaitu :
1. Jenis Buku
Jenis/bentuk buku itu apakah roman, novel, biografi, atau yang lain. Selain itu seorang resentator menyebutkan juga buku termasuk buku fiksi atau nonfiksi.
2. Keaslian Ide
Buku itu apakah benar-benar merupakan karya asli dari pengarangnya atau merupakan jiplakan dari buku lain yang pernah terbit.
3. Bentuk
Bagaimana mengenai bentuk atau format dari buku itu. Apakah bentuknya, kertas, ilustrasi cover, jenis huruf yang dipakai, dan sebagainya.
4. Isi dan Bahasa
Dilihat dari segi isi, resentator perlu memperhatikan unsur-unsur intrinsiknya, yaitu tentang tema, alur, perwatakan, sudut pandang dan sebagainya.
Bahasa dalam buku itu dapat ditinjau dari segi struktur kalimat, gaya bahasa/style, ungkapan dan lain-lain. Apakah bahasa yang digunakan memakai bahasa sehari-hari yang segar tidak menjemukan, mudah dimengerti oleh pembaca, dan sebagainya. Mudah dipahami atau sukar diterima pembaca. Pengujian materi mendapat perhatian juga dari resentator.
5. Simpulan
Akhirnya seorang penulis resensi harus dapat menyimpulkan, apakah buku itu baik dan perlu dibaca atau tidak.
• menulis data buku yang dibaca,
• menulis ikhtisar isi buku,
• mendaftar butir-butir yang merupakan kelebihan dan kekurangan buku,
• menuliskan pendapat pribadi sebagai tanggapan atau isi buku, dan
• memadukan ikhtisar dan tanggapan pribadi ke dalam tulisan yang utuh.
Sebuah resensi harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Data buku atau identitas buku
a. Judul buku
Jika buku yang akan kamu resensi adalah buku terjemahan, akan
lebih baik jika kamu menuliskan judul asli buku tersebut.
b. Penulis atau pengarang
Jika buku yang diresensi adalah buku terjemahan, kamu harus
menyebutkan penulis buku asli dan penerjemah.
c. Nama penerbit
d. Cetakan dan tahun terbit
e. Tebal buku dan jumlah halaman
2. Judul Resensi
Judul resensi boleh sama dengan judul buku, tetapi tetap dalam konteks buku itu.
3. Ikhtisar Isi Buku
Dalam meresensi buku, seorang peresensi harus menulis buku yang hendak diresensi. Ikhtisar adalah bentuk singkat dari suatu karangan atau rangkuman. Ikhtisar merupakan bentuk singkat karangan yang tidak mempertahankan urutan karangan atau buku asli, sedangkan ringkasan harus sesuai dengan urutan karangan atau buku aslinya. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat ikhtisar isi buku adalah sebagai berikut.
a. Membaca naskah/buku asli
Penulis ikhtisar harus membaca buku asli secara keseluruhan untuk
mengetahui gambaran umum, maksud, dan sudut pandang pengarang.
b. Mencatat gagasan pokok dan isi pokok setiap bab
c. Membuat reproduksi atau menulis kembali gagasan yang dianggap
penting ke dalam karangan singkat yang mempunyai satu kesatuan yang padu.
4. Kelebihan dan Kekurangan Buku
Penulis resensi harus memberikan penilaian mengenai kelebihan dan kelemahan buku yang disertai dengan ulasan secara objektif.
5. Kesimpulan
Penulis resensi harus mengemukakan apa yang diperolehnya dari buku yang diresensi dan imbauan kepada pembaca. Jangan lupa cantumkan nama kamu selaku peresensi.

contoh

Judul buku : Desaku, Sekolahku Penulis : Ahmad M. Nizar Alfian Hasan Penerbit : Pustaka Q-Tha Tahun Terbit : Agustus 2007 Tebal buku : XXV+189 hlm, 14 x 20 cm Ketika sekolah semakin mahal dan membosankan, apa yang mungkin kita lakukan untuk menghadapi situasi seperti ini? Biaya sekolah terus mengikuti trend harga barang-barang di pasaran yang terus membumbung naik. Sementara, kualitas lulusannya masih jauh dari yang diharapkan. Murid-murid sendiri banyak yang menyatakan kebosanan, tidak menyenangkan dan tidak menarik atas proses pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah dengan rasa tertekan dan keterpaksaan. Belum lagi ketegangan dengan guru dan tugas-tugas sekolah serta pekerjaan rumah (PR) yang menyebalkan. Waktu untuk mengekspresikan diri dan explorasi ketertarikan pada hal-hal di luar sekolah habis ditelan tuntutan aktivitas di sekolah. Formalitas sekolahan telah memandulkan kreativitas dan mengasingkan para murid dari lingkungan hidupnya sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak dari keluarga miskin yang tersebar luas di Indonesia Raya ini? Dan pada akhir ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun tiba, ijasah adalah symbol kebanggaan kelulusan yang konon bisa memberikan jaminan hidup kedepan(?) Perlu disadari para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu diterimakan, ketika itu pula status anda berubah, bukan lagi menjadi mahasiswa sang intelektual melainkan “pengangguran” bila anda belum produktif. Sebagai sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menerapkannya dalam aktivitas kerja produktif di tengah-tengah masyarakat membangun ini; pertanyaannya, apa yang bisa anda kerjakan/ hasilkan? Apa yang bisa dibanggakan dengan ijasah di tangan tapi tidak berdaya..? Kenyataan cenderung mengatakan “untuk menjadi pandai itu memang mahal.” Dan “orang-orang miskin dilarang sekolah.” Namun demikian, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi di muka Bumi ini selama hal itu manusiawi. Bahwa sekolah (baca: belajar) itu bisa murah dan berkualitas adalah bukan mimpi, dan hal ini dibuktikan oleh komunitas petani—yang menamakan dirinya komunitas Qaryah Thayyibah-- di Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, 3 kilometer dari Kota Salatiga, Propinsi Jawa Tengah. Berawal dari solidaritas yang kuat dari seorang Bahrudin yang melihat para tetangganya tidak mungkin menyekolahkan anak-anaknya ke SLTP, karena biaya masuk sekolah dan SPP bulanannya terasa memberatkan. Ketika itu, ia akan memasukkan anaknya, Hilmy, ke SLTP di Kota Salatiga. Ia menemui kenyataan bahwa biayanya cukup mahal, dan tidak sampai hati menyaksikan anaknya pergi ke sekolah sementara anak-anak tetangganya tak terperhatikan pendidikannya, maka ia mengajak warga sekitarnya untuk mendirikan sekolah SLTP terbuka, yang kemudian berkembang menjadi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah. SLTP itu menyebut diri “alternatif” karena mereka memang bisa dikatakan terlepas dari mainstreaming proses pembelajaran sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya. Sekolah ini mempunyai prinsip dasar: 1) Pendidikan dilandasi semangat pembebasan dan perubahan yang lebih baik; 2) Keberpihakan kepada keluarga miskin; 3) proses belajar yang menyenangkan (egaliter); dan partisipasi semua pihak. Dan sebagaimana yang dicita-citakan oleh penggagasnya, bahwa SLTP alternatif ini bercita-cita menjadi sekolah yang murah dan berkualitas. Pak Bahrudin menekankan bahwa lembaga pendidikan alternatif seyogyanya menyatu dengan lingkungan sosial dan alam sehingga secara langsung berkonribusi pada perwujudan masyarakat yang tangguh yang mampu mengelola dan mengontrol segala sumber daya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki dan perempuan, atau masyarakat ilmu yang berkeadaban (hlm.37). “Desaku, Sekolahku” adalah pilihan judul buku yang sangat tepat untuk menyebut konsepsi belajar yang terjadi di Desa Kalibening. Bahwa belajar tidak hanya di ruang kelas, tetapi bisa juga di kebun, di lapangan, di bengkel, di sawah, di pinggir kali, di dapur, di masjid, di rumah-rumah warga, dan seterusnya. Penulis, A.M.Nizar Alfian Hasan menemukan pesona tersendiri dari anak-anak SLTP yang mempunyai konsep sekolah ideal tidak terbatas pada bangunan sekolah, atau konsep ruang bangunan. Sekolah bagi anak-anak itu adalah rumah, ruang perpustakaan, dapur, halaman rumah sampai lingkungan alam desa dimana mereka hidup. Proses belajar ditentukan sendiri oleh para murid dan kondisi yang nyaman serta menyenangkan dengan sendirinya tetap terjaga. Ternyata suasana informal justru sangat mendukung proses belajar yang kreatif, efektif dan menyatu dengan masyarakat. Lompatan besar pun terjadi. Anak-anak SLTP alternatif ini dengan kesadaran baru tidak mengejar penilaian dan ijasah, melainkan pengetahuan dan kemampuan baru. Bukan kompetisi penilaian yang dibangun, melainkan kompetisi memahami pengetahuan dan membagikannya kepada kawan-kawan lainnya. Hanya 4 orang muridnya yang ikut Ujian Akhir Negara (UAN) 2006 yang lalu; itu pun tujuannya adalah penelitian. Persoalan pun dipecahkan bersama-sama. Saya harus menyampaikan rasa salut saya kepada Bapak Roy Budhianto di Kota Salatiga yang mendukung pembelajaran anak-anak itu dengan menyediakan akses internet 24 jam gratis sebagai jendela wawasan dunia. Atas dukungan inilah anak-anak SLTP QT melesat cepat menjadi komunitas pengguna internet terbaik di dunia sejajar dengan tujuh komunitas dunia lainnya, seperti Kampung Issy Les Moulineauk di Perancis dan Kecamatan Mitaka di Tokyo—menurut peneliti Asia Pasific Telecommunity di Bangkok, Dr.Naswil Idris. “Action Day” adalah agenda belajar anak-anak SLTP untuk beraktivitas di lingkungan masyarakat secara langsung, misalnya meneliti dan menulis tentang sengketa mata air “Belik “ Luweng. Kegiatan ini menjadi ajang implementasi pengetahuan dan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Tidak ada anggapan bahwa ada anak yang bodoh, yang ada adalah talenta dan ketertarikan yang berbeda-beda. Mereka tidak hanya belajar pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga belajar tentang kehidupan (humanisme). Tidak ada paksaan bahwa semua siswa harus menguasai pelajaran; kalau ternyata guru saja tidak harus menguasai bahan pelajaran. Hal ini mengingatkan saya pada situasi belajar di Tomoe, Jepang, pasca perang dunia kedua, sebagaimana digambarkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dalam bukunya yang terkenal “Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela”. Dan seperti cita-cita Alm. Romo YB.Mangunwijaya yang sering saya dengarkan sebelum kepergiannya. Proses belajar ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas. Sebagian dari mereka sudah menulis beberapa novel dan buku ilmiah yang dipublikasikan oleh penerbit di Yogyakarta. Dan juga sering mendapatkan undangan untuk menjadi pembicara atau sekadar berbagi pengalaman. Beberapa karya mereka meliputi pembuatan film documenter dan film untuk belajar (pengetahuan), menerbitkan majalah E-lalang, berteater untuk masyarakat, dan mahir dalam multimedia. Mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat kosmopolitan tetapi tetap mengakar di dunianya.Mereka telah berpikir global dan bertindak lokal (think globally, act locally). Dalam buku ini tereksplorasi bagaimana anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mempunyai tugas akhir—sebagai pengganti UAN--untuk menandai kelulusannya dengan mengadakan dan menyelesaikan “disertasi” masing-masing. “Disertasi” itu antara lain Pengadaan Ruang Belajar, Studio Musik Bawah Tanah dan Kolam Belut di Rumah As’ad; Laboratorium Tanaman dan Pembuatan Briket Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar dan Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa; Ruang Belajar di Rumah Amik; “Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga Alm.Bapak Tafdil; Radio Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak Bahrudin; dan lain-lain. Proses penulisan Tugas Akhir dalam studi Arsitektur di FT-UNS Surakarta ini perlu dijadikan contoh nyata, bahwa pembelajaran yang langsung melibatkan suatu masyarakat akan memberikan transformasi positif bagi kedua belah pihak. Penulis mengakui bahwa proses interaksi dengan komunitas, terutama anak-anak SLTP alternatif Qaryah Thayyibah mempuyai dampak pembelajaran yang memberikan pencerahan. Semuanya merasakan perubahan yang lebih baik. Dan pada akhirnya, perlu diambil hikmahnya: bahwa belajar itu tidak mengenal batas ruang dan waktu, bahwa sekolah itu bisa murah dan berkualitas, dan tentunya dengan adanya semangat dan upaya yang kuat dari semua pihak. Inilah yang disebut Komunitas Belajar. 
 Djuneidi Saripurnawan, 
RDC Plan Aceh, alumnus Studi Antropologi UGM Yogyakarta. 
Mungkin itu saja artikel saya kali ini tentang contoh resensi buku yang benar

Beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, khususnya malam mulia yang utama (lailatul-qadri). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian para istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (Muttafaq ‘alaih)
I’tikaf memiliki adab-adab yang menentukan sah dan sempurnanya i’tikaf, termasuk kapan mulainya dan kapan berakhirnya, berikut amalan-amalan apa saja yang dikerjakan selama i’tikaf.
Barangsiapa berniat untuk melaksanakan sunnah ini hendaklah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid tempat i’tikaf sejak terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan. Jika dia menyiapkan tenda (kemah) di salah satu bagian masjid sebagai tempat menyendiri selama i’tikaf -dan ini hukumnya sunnah- hendaklah masuk ke dalam tenda (kemah itu setelah shalat shubuh. Dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai i’tikaf di masjidnya ketika terbenam matahari di awal malam ke-21. Namun beliau baru menyendiri (masuk) di dalam tenda yang telah disiapkan untuk dirinya setelah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan melakukan i’tikaf, beliau menunaikan shalat Fajar (shubuh), kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ini adalah mazhab empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) serta jumhur (mayoritas) ulama yang dirajihkan (dikuatkan) oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.
Selama beri’tikaf hendaklah memerhatikan adab-adab berikut:
1. Tidak melakukan jima’ (senggama), berdasarkan ayat i’tikaf:
“Janganlah kalian menggauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Hal ini hukumnya haram dan membatalkan i’tikaf, baik dilakukan di masjid maupun di luar masjid (rumah). Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya secara khusus pada i’tikaf, padahal pada asalnya halal di luar i’tikaf. Jima’ diharamkan dalam i’tikaf karena bertentangan dengan tujuan i’tikaf.
2. Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan i’tikaf, seperti keluar untuk bersenggama dengan istri di rumah, keluar untuk menekuni pekerjaannya, ataupun melakukan profesinya di tempat i’tikafnya [1], keluar untuk bertransaksi jual-beli, ataupun melakukan transaksi jual-beli di masjid, dan semisalnya. Apabila hal itu dilakukan maka i’tikafnya batal, meskipun ia telah mempersyaratkan akan melakukannya saat berniat melakukan i’tikaf, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan i’tikaf. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Kalau memang ia butuh untuk bekerja (melakukan profesinya), jangan beri’tikaf.”
3. Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan, hal itu boleh. Urusan tersebut meliputi hal-hal yang bersifat tabiat manusiawi seperti kebutuhan buang hajat dan makan minum, atau yang bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah, dan shalat Jum’at. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya seseorang yang beri’tikaf keluar dari masjid untuk suatu urusan yang harus dilakukan.” Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang beri’tikaf, beliau biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat (pada riwayat Muslim: untuk hajat manusiawi).” (Muttafaq ‘alaih)
Juga hadits ‘Aisyah yang mauquf (dinisbatkan kepada ‘Aisyah sebagai perbuatannya) yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya pada “Kitab al-Haidh”:
“Adalah aku (jika sedang beri’tikaf) biasa masuk rumah untuk suatu hajat, padahal di dalam rumah ada orang sakit. Aku tidak menanyakan keadaannya kecuali sambil lewat saja.” [2]
Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan ketaatan yang bersifat sunnah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, kecuali jika jelas baginya bahwa tidak ada yang mengurusi orang sakit tersebut selain dirinya -sedangkan kondisi sakitnya telah kritis- atau jika tidak ada yang bisa mengurusi jenazah tersebut selain dirinya, hal ini diperbolehkan. Sebab, pada kondisi itu hukumnya menjadi wajib atas dirinya. Jika ia keluar untuk suatu urusan yang harus dilakukannya, maka tidak boleh berlama-lama lebih dari hajatnya itu. Jika ia berlama-lama lebih dari hajatnya tersebut, maka i’tikafnya batal sebagaimana batalnya i’tikaf jika keluar untuk urusan yang tidak bersifat wajib meskipun hanya sebentar, menurut pendapat empat imam mazhab.
4. Disunnahkan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus, seperti shalat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, serta beristighfar. Secara khusus, sepuluh malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan shalat tarawih. Inilah inti dan tujuan i’tikaf, untuk mengkhususkan diri dengan ibadah-ibadah tersebut. Itulah sebabnya pelaksanaan i’tikaf dibatasi harus di masjid.
5. Disunnahkan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun yang lainnya.
6. Tidak mengapa baginya untuk berbicara sebatas hajat dan berbincang-bincang dengan orang lain dalam batas yang dibolehkan dalam syariat, baik secara langsung maupun melalui telepon, selama hal itu masih dalam masjid tempat beri’tikaf. Demikian pula, tidak mengapa untuk dikunjungi kerabat atau temannya di tempat i’tikafnya serta berbincang-bincang sejenak dan tidak lama. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Shafiyyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) tentang kedatangannya mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari saat beliau melakukan i’tikaf, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersamanya dan mengantarkannya pulang ke rumahnya. [3]
Selanjutnya, i’tikaf berakhir ketika terbenam matahari di malam ‘Id dan tidak disyariatkan menunggu esok harinya hingga menjelang shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama serta Ibnu Hazm.
Catatan
[1] Seperti menjahit atau yang lainnya.
[2] Adapun periwayatan hadits ini secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud merupakan riwayat yang dha’if (lemah), sebab dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah bernama Laits bin Abi Sulaim.
[3] Adapun keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari masjid untuk mengantarkan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, dibawa kepada pemahaman bahwa hal itu merupakan keharusan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya, karena peristiwa itu di malam hari sehingga beliau khawatir jika membiarkannya pulang sendiri.
Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 63/VI/1431 H/2010, hal. 74-76.